Monday, 6 December 2010

Yogyakarta merasa terluka SBY sebut Jogja Monarki

Jakarta - Presiden SBY dan pemerintah pusat tidak sepatutnya menyebut Keraton Yogyakarta sebagai bagian dari monarki. Sultan Hamengku Buwono X dan rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta merasa terluka dengan sebutan monarki tersebut.
Pada dasarnya, pemerintahan di Yogyakartamenerapkan semua prinsip demokrasi dan administrasinya seperti halnya provinsi lain. Karena itu, tidak tepat jika Presiden tidak segera mengesahkan keistimewaan Yogyakarta.
”Saya tegaskan bahwa mereka yang mempertanyakan keistimewaan Yogyakarta tidak mengerti sejarah dan sumbangsih Yogyakarta,” kata sosiolog Dr Hotman Siahaan dari Unair Surabaya, Selasa (30/11/2010).
Selama revolusi fisik memang ada usaha menghapus Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dan Pura Pakualaman, tetapi tak pernah berhasil. Itu karena kedua pemegang kekuasaan swapraja sangat tanggap terhadap perubahan politik yang ditimbulkan oleh proklamasi kemerdekaan.

Sultan HB IX dan Sri Paku Alam menempatkan sebagai ahli waris dari kerajaan terhormat yang sejak dahulu selalu mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Pada masa perang kemerdekaan, Negara Republik Indonesiamenghormati kedudukan daerah Istimewa.
Namun bahwa arus revolusi ternyata menggilas semua swapraja kecuali Kesultanan DIY dan Pakualaman yang segera setelah proklamasi kemerdekaan menyambut dan menyatakan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia.
Menurut Hotman, anggapan sistem pemerintahan di Provinsi DIY bersifat monarki jelas salah alamat. Kalau toh ada anggapan monarki, istilah itu dalam konteks simbolisasi kultural Jawa. Monarki itu jelas bukan monarki politik.
Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk paling berperan saat Republik Indonesia mengalami masa-masa sulit di awal kemerdekaan. Jutaan gulden dikucurkan dari kocek pribadi penguasa keraton untuk membayar para pegawai pemerintah tiga bulan pertama pemerintahan dipindah ke Yogya. Ibaratnya, Yogyakarta merawat bayi RI yang baru lahir.
"Kita hendaknya menghargai sejarah, termasuk membalas budi kepada DIY, termasuk juga Sultan HB IX. Pada 1945-1948 bahkan sampai awal 1949, Yogyakarta bagaikan bidan yang merawat bayi RI yang baru lahir," kata sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, Selasa (30/11/2010).
Pada tahun-tahun tersebut, Ibu kota Indonesia yang masih berada di Jakarta sedang dalam suasana mencekam. Ribuan orang tewas dibantai oleh Belanda, Jepang, dan bahkan penduduk pribumi sendiri hingga akhirnya Soekarno-Hatta pun mengungsi ke Yogyakarta.
"Bayangkan, Soekarno dan keluarganya bersama Hatta waktu itu ke Yogyakartanaik satu gerbong ke Yogya tanpa bawa apa-apa. Kemudian ditampung di Yogya oleh Sultan HB," papar Asvi.
Tak cuma itu, para pegawai pemerintah pun saat itu yang menggaji adalah Keraton Yogya. Sedikitnya 5 juta gulden telah dikeluarkan oleh pihak keraton untuk menggaji para pegawai pemerintah kala itu.
Dengan fakta-fakta sejarah seperti itu, apakah Istana Presiden SBY masih harus memperdebatkan status Daerah Istimewa yang dimiliki Yogyakarta? Sudah semestinya Presiden SBY dan para elite politik di Senayan yang menggodok RUU Keistimewaan DIY mengingat Jas Merah dari Sang proklamator Presiden Soekarno. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah!
Posted by: Divar
Tiingtong Updated at: here
12:42

0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com